ELTV SATU ||| JAKARTA – Pemerintah Indonesia resmi menunda peluncuran proyek buku sejarah nasional resmi yang sedianya diluncurkan pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan ke-80 Hari Kemerdekaan RI. Proyek besar yang terdiri dari 10 jilid buku ini kini dijadwalkan rilis pada November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Keputusan penundaan diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Ia menyebut, pemerintah memerlukan waktu tambahan untuk penyempurnaan naskah serta uji publik. “Kita ingin memastikan buku sejarah ini benar-benar komprehensif, objektif, dan dapat diterima semua kalangan,” ujarnya.
Proyek buku sejarah ini digagas sebagai pembaruan dari penulisan sejarah resmi terakhir pada era Orde Baru, yakni tahun 1975 dengan revisi pada 1984. Lebih dari 110 sejarawan dan akademisi dari 34 universitas di seluruh Indonesia dilibatkan. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai upaya menghadirkan narasi sejarah nasional yang lebih segar untuk generasi muda.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan penundaan bukan berarti proyek ini gagal. Ia menegaskan buku tetap akan diterbitkan tahun ini. “Kita ingin memberi hadiah intelektual bagi bangsa. Penundaan ini justru agar proses penyuntingan dan validasi lebih matang,” kata Fadli. 15 Agustus 2025
Meski demikian, rencana peluncuran proyek ini menuai kritik keras dari kalangan sejarawan, aktivis, dan politisi oposisi. Mereka menilai proyek tersebut rawan menjadi alat politik, terutama dalam menghapus bab-bab gelap sejarah Indonesia.
Beberapa kritik menyebut buku ini berpotensi mengabaikan peristiwa besar seperti tragedi 1965–66, kerusuhan anti-Tionghoa 1998, hingga kasus penculikan aktivis 1998. Sejarawan senior Asvi Warman Adam bahkan menyebut proyek ini sebagai bentuk “amnesia sejarah,” mirip pola Orde Baru yang menulis ulang sejarah demi legitimasi kekuasaan.
“Sejarah seharusnya mencatat seluruh kenyataan, termasuk masa-masa kelam. Jika buku sejarah resmi justru menghapusnya, maka generasi muda akan kehilangan pelajaran penting dari masa lalu,” ujar Asvi.
Sejumlah kalangan juga menduga proyek ini bertujuan menonjolkan figur tertentu, termasuk Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Soeharto. Narasi yang terlalu menyanjung militer dikhawatirkan akan menghidupkan kembali model penulisan sejarah ala Orde Baru yang menekankan peran tunggal tentara dalam perjalanan bangsa.
Anggota DPR dari kubu oposisi mendesak agar proyek dihentikan. Mereka menilai pemerintah tidak boleh memaksakan narasi tunggal yang justru menutup ruang perdebatan akademis.
Menjawab tuduhan tersebut, Menteri Fadli Zon menyatakan bahwa proyek ini tidak bertujuan menghapus sejarah, melainkan memperkaya pengetahuan masyarakat. Ia menegaskan buku ditulis melalui proses akademis yang panjang dan terbuka terhadap masukan publik. Beberapa diskusi akademik juga telah digelar di universitas besar seperti UI, Universitas Hasanuddin, hingga Universitas Negeri Padang.
“Sejarah adalah milik bangsa. Karena itu, kami membuka ruang publik untuk memberi masukan, agar buku ini benar-benar menjadi milik semua orang, bukan sekadar narasi pemerintah,” katanya.
Penundaan peluncuran buku sejarah ini bertepatan dengan gelombang ekspresi kritis publik. Salah satunya terlihat dari aksi simbolik pengibaran bendera bajak laut “Jolly Roger” ala One Piece di beberapa daerah, yang menjadi tanda protes terhadap dugaan pembungkaman kritik dan penulisan ulang sejarah.
Penundaan peluncuran buku sejarah nasional resmi mencerminkan pertarungan wacana antara pemerintah yang ingin menghadirkan narasi tunggal dan sejarawan yang menuntut keterbukaan pada kenyataan pahit masa lalu. November 2025 mendatang akan menjadi ujian, apakah proyek ini mampu memberi warisan intelektual yang jujur bagi generasi muda, atau justru memperkuat tudingan sebagai bentuk “amnesia sejarah” versi negara.