ELTV SATU ||| ARTIKEL : Di era digital, teknologi membuka peluang besar bagi pendidikan, komunikasi, dan kreativitas anak. Namun, di sisi gelapnya, muncul fenomena prostitusi online yang melibatkan anak di bawah umur, yang menimbulkan dampak psikologis dan sosial serius.
Fenomena dan Dampak Sosial
Data menunjukkan bahwa banyak anak korban pelecehan seksual akhirnya putus sekolah karena trauma, stigma sosial, atau tekanan ekonomi. Tidak jarang, mereka mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan psikologis yang mendalam, meninggalkan luka yang sulit disembuhkan.
Fenomena ini termasuk dalam kategori perdagangan anak, karena melibatkan pemindahan, pengendalian, dan eksploitasi anak demi keuntungan pihak lain.
Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia, prostitusi online anak jelas tergolong perdagangan anak.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi seksual terhadap anak.
- Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2024 menegaskan bahwa perdagangan orang, termasuk anak, mencakup tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan tujuan eksploitasi.
Sanksi Hukum bagi Pelaku
Pelaku prostitusi online anak dapat dikenai sanksi pidana sesuai KUHP dan UU Perlindungan Anak.
- Pasal 82 UU Perlindungan Anak: Pelaku perdagangan anak dipidana 5–15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.
Hukuman ini menunjukkan keseriusan negara dalam melindungi anak dari praktik eksploitasi dan perdagangan.
Perlindungan Anak dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan. Eksploitasi seksual anak jelas haram dan berdosa besar.