ELTV SATU ||| OPINI – Demonstrasi adalah hak rakyat yang dilindungi konstitusi. Jalanan adalah ruang sah bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Namun, setiap kali aksi berubah ricuh, tudingan tentang “penyusup” hampir selalu muncul. Istilah ini bisa benar adanya, tetapi juga rawan dijadikan tameng untuk mengaburkan inti persoalan.
Sejarah panjang unjuk rasa di negeri ini menunjukkan, penyusup memang diduga kerap hadir. Ada provokator yang memantik kerusuhan, massa bayaran yang mengacau, hingga kelompok yang menunggangi isu demi agenda politik. Semua itu nyata dan tidak bisa diabaikan. Negara berkewajiban menindak mereka dengan tegas, karena kericuhan merusak wajah demokrasi sekaligus mencederai aspirasi rakyat yang sah.
Namun, ada bahaya lain yang tak kalah besar: jika setiap kerusuhan otomatis dicap ulah penyusup, suara rakyat bisa terkubur. Pemerintah berisiko menghindar dari inti persoalan, yakni keresahan masyarakat yang melahirkan demonstrasi itu sendiri. Narasi penyusup tidak boleh dijadikan alasan untuk membungkam kritik.
Aparat memang dituntut keras, tetapi keras itu harus diarahkan tepat: kepada perusuh, bukan kepada demonstran damai. Rakyat berhak menyampaikan pendapat tanpa rasa takut ditunggangi atau dituduh. Sebaliknya, pemerintah berhak menjaga stabilitas tanpa dicurigai menutup ruang demokrasi.
Karena itu, transparansi mutlak diperlukan. Jika benar ada dalang di balik kerusuhan, ungkaplah ke publik siapa mereka. Tanpa keterbukaan, istilah “penyusup” hanya akan menjadi jargon kosong yang menimbulkan ketidakpercayaan.
Demokrasi menuntut keseimbangan: rakyat diberi ruang aman untuk bersuara, negara tegas terhadap pengacau. Aspirasi harus dipisahkan dari anarki. Jangan biarkan penyusup mencoreng aksi, tetapi jangan pula biarkan istilah penyusup membungkam demokrasi.