ELTV SATU ||| CERPEN – Senja merayap perlahan di halaman rumah sederhana itu. Cahya masih sigap menyiapkan teh hangat, meski kadang langkahnya melambat karena sakit kakinya kambuh. Ia tetap berusaha melakukan segalanya sendiri, dengan semangat yang tak pernah surut. Surya hanya memperhatikan dari kursi kayu, lalu berdiri ketika melihat istrinya sedikit meringis. Dengan tenang ia mengambil baki dari tangan Cahya, seolah berkata: “Tidak perlu dipaksakan, biar saya saja.”
Bagi orang lain, pemandangan itu sederhana. Namun bagi mereka berdua, itulah wujud cinta di usia senja: tidak lagi berisik dengan kata-kata manis, melainkan hadir dalam tindakan kecil yang penuh arti.
Dulu cinta mereka adalah api. Ada tawa, ada cemburu, ada janji-janji manis yang kadang berujung pertengkaran kecil. Kini cinta itu berubah menjadi kesediaan untuk saling menopang. Surya tahu Cahya masih mampu melakukan banyak hal, tetapi ia juga tahu kapan harus turun tangan. “Kalau saya diam saja, nanti dia tersiksa dengan sakit kakinya,” kata Surya sambil tersenyum.
Cahya pun mengerti. Ia tidak merasa lemah karena dibantu, justru merasa dicintai. “Saya masih bisa kok, tapi kalau Surya ada, rasanya lebih ringan,” ujarnya pelan. Dalam hal-hal kecil itulah, cinta menemukan bentuk barunya: sederhana, tenang, tapi mengikat.
Cinta mereka bukan lagi soal gejolak, melainkan kepedulian yang hadir hanya ketika diperlukan. Ia tidak memanjakan berlebihan, juga tidak membiarkan pasangan berjuang sendirian. Cinta itu hadir pada waktunya, cukup untuk menunjukkan bahwa mereka masih saling menjaga.
