ELTV SATU ||| CERITA FIKSI – Di hutan yang tak tercatat dalam peta siluman, kabut pagi menari di atas sungai dan daun-daun bergemerisik seperti bisikan rahasia. Di sana, empat makhluk berkumpul: kera yang lincah, babi yang bijak, Siluman air yang lembut, dan siluman ular yang licik. Hari itu, mereka tidak bersaing atau menipu, melainkan merenung—tentang hidup, kebahagiaan, dan diri sendiri.
“Ah, lihatlah siluman ular itu, selalu sibuk mengkritik sesamanya,” kata si kera sambil melompat di dahan. “Mereka bersuara lantang tentang keadilan, namun mata mereka buta terhadap kelemahan sendiri. Lucu, bukan?”
“Lucu sekaligus tragis,” jawab si babi dengan tenang. “Mereka merasa hakim dunia, tapi cermin diri sendiri enggan disentuh. Sering kali, mereka lupa bahwa kebijaksanaan lahir dari menata diri sendiri, bukan menuntut makhluk lain berubah.”
Aliran air yang mengalir pelan di dekat mereka berdesir lembut. “Benar. Aliran kehidupan akan tenang jika kita merawat diri sendiri. Mengurusi kehidupan siluman ular hanya mengotori jiwa. Tanggung jawab sosial, politik, dan persoalan dunia, sebaiknya diserahkan kepada mereka yang memang memikulnya.” Ucap Siluman Air
“Kau benar,” sahut si kera sambil menepuk dadanya. “Hidup yang sejati bukan tentang lantang bersuara atau menonjolkan keberanian, tapi tentang damai, tentram, dan mampu menumbuhkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk-makhluk yang kita sayangi.”
“Hidup sederhana, hidup yang harmonis, itulah kekayaan yang tak terlihat,” tambah si babi. “Sunyi yang memeluk hati, ketenangan yang memberi ruang bagi hidup untuk tumbuh.”
“Ketika kita berhenti menilai dan mulai merawat diri, kita menemukan ketenteraman yang tak tergantikan,” kata aliran air lembut. “Kebahagiaan sejati bukan sorak-sorai, tapi kehangatan dalam keakraban dan cinta yang tak bersyarat.”
Si kera tersenyum nakal. “Mungkin siluman ular perlu belajar dari kita, dari alam. Kita tak menilai, kita mengalir, kita hidup dengan damai… meski bentuk kita menakutkan bagi mereka.”
Si babi dan aliran air mengangguk serempak. “Tepat sekali. Dan itulah seni hidup yang sejati.”












