ELTV SATU ||| JAKARTA – Fenomena penarikan kendaraan oleh Oknum debt collector (DC) masih menimbulkan keresahan masyarakat. Beberapa kasus menunjukkan praktik penarikan kendaraan di jalan yang disertai intimidasi atau kekerasan. Dalam konteks ini, peran kepolisian menjadi kunci sebagai penegak hukum dan pelindung hak masyarakat.
Perbedaan Ranah Hukum: Perdata dan Pidana
Dalam hubungan antara debitur dan lembaga pembiayaan, sengketa hutang-piutang termasuk ranah hukum perdata. Penyelesaian dilakukan melalui pengadilan perdata, misalnya gugatan wanprestasi atau eksekusi fidusia. Debt collector tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi kendaraan secara paksa jika objek kredit belum terdaftar fidusia. Penarikan kendaraan di luar prosedur fidusia dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata (PMH). Pada ranah ini, polisi tidak memiliki kewenangan untuk mengurus sengketa kontraktual murni, kecuali tindakan tersebut disertai unsur pidana.
Namun, bila penarikan kendaraan dilakukan dengan kekerasan, intimidasi, ancaman, atau perampasan paksa, perbuatan ini beralih ke ranah pidana. Tindakan tersebut memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dan dapat dijerat KUHP, antara lain Pasal 351 (penganiayaan), Pasal 368 (pemerasan), dan Pasal 365 (perampasan dengan kekerasan). Dalam kondisi ini, polisi memiliki kewenangan penuh untuk menerima laporan, menyelidiki, menindak, dan menahan pelaku.