ELTV SATU ||| JAKARTA – Fenomena thrifting atau jual beli pakaian bekas kian marak di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Namun di balik tren ini, terdapat praktik yang diduga melanggar hukum, yakni thrifting ilegal kegiatan memperjualbelikan pakaian bekas impor yang diduga masuk ke Indonesia tanpa izin resmi. Kegiatan tersebut, jika dilakukan terhadap objek barang impor bekas yang tidak memiliki izin, dapat termasuk kategori perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut analisis hukum Apip Rocheli, S.Kom, Sekretaris Umum LPKSM Cakra Adipati Nusantara, dasar hukum larangan impor pakaian bekas terdapat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 juncto Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang yang Dilarang Ekspor dan Impor.
“Dalam aturan tersebut, impor pakaian bekas secara tegas dilarang. Tujuannya bukan hanya melindungi industri tekstil nasional, tetapi juga untuk mencegah risiko kesehatan masyarakat. Jika ada praktik perdagangan yang memperjualbelikan pakaian bekas impor tanpa izin, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum,” ujar Rocheli.
Ia menambahkan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan juga mengatur bahwa barang impor yang tidak dilengkapi izin resmi dari otoritas terkait dapat dikenai sanksi administratif dan pidana. Oleh karena itu, pelaku usaha yang terlibat dalam aktivitas thrifting ilegal, jika terbukti memperdagangkan barang impor tanpa izin, dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), setiap konsumen berhak atas barang yang aman, sehat, dan tidak membahayakan.
“Masalahnya bukan pada kata ‘bekas’, melainkan pada asal-usul dan legalitas barang tersebut. Jika pakaian impor bekas tidak melalui proses karantina dan pemeriksaan kebersihan, maka ada potensi bahaya bagi kesehatan,” jelas Rocheli.
Dalam praktiknya, banyak pelaku usaha yang tidak memberikan informasi lengkap mengenai asal-usul barang. Padahal, Pasal 7 UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar dan jujur serta menjamin keamanan dan mutu produk yang dijual. Jika terbukti merugikan konsumen, praktik tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sejak tahun 2024 hingga Agustus 2025, tercatat 2.584 kasus penyelundupan pakaian bekas (balpres) berhasil ditindak. Total barang bukti mencapai 12.808 koli dengan nilai sekitar Rp49,44 miliar. Penindakan tersebut menjadi bukti bahwa peredaran pakaian bekas impor tanpa izin masih marak dan memerlukan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah.
Menanggapi maraknya penyelundupan pakaian bekas, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pemerintah tengah meninjau ulang mekanisme sanksi agar memberikan efek jera sekaligus keuntungan bagi negara.
“Rupanya selama ini hanya dimusnahkan dan yang mengimpor masuk penjara. Negara enggak dapat duit, importir enggak didenda, jadi negara rugi. Cuma mengeluarkan ongkos untuk memusnahkan barang itu, ditambah kasih makan orang-orang yang dipenjara itu,” ujar Purbaya baru-baru ini.
Ia menegaskan bahwa ke depan, pemerintah akan menerapkan sanksi denda terhadap importir ilegal agar penegakan hukum tidak hanya bersifat represif, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kas negara.
LPKSM Cakra Adipati Nusantara menilai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap praktik thrifting ilegal adalah importir dan pelaku usaha yang memperjualbelikan pakaian bekas impor tanpa izin.
“Jika terbukti, mereka dapat dikenai sanksi berdasarkan UU Kepabeanan, UUPK, dan Permendag. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan melakukan pengawasan, penyitaan, hingga pemusnahan barang impor bekas yang tidak memenuhi ketentuan,” jelas Rocheli.
Namun, Rocheli juga menekankan pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat. Konsumen diimbau agar lebih berhati-hati dalam membeli produk thrifting dan memperhatikan aspek legalitas, keamanan, serta kebersihan produk. Dari hasil kajian hukum ini, Rocheli menyimpulkan bahwa praktik thrifting ilegal, jika dilakukan terhadap objek pakaian bekas impor tanpa izin resmi, dapat mengandung unsur perbuatan melawan hukum.
“Negara memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum demi melindungi kepentingan umum dan keamanan masyarakat. Sementara konsumen perlu meningkatkan kesadaran agar tidak ikut mendukung praktik perdagangan yang diduga melanggar ketentuan hukum,” ujarnya.
Rujukan Hukum:












