Scroll ke bawah
banner 325x300
banner 160x600
banner 160x600
Example 728x250
Artikel

Ayah dan Anak Tiri Obsesi yang Terlarang

18
×

Ayah dan Anak Tiri Obsesi yang Terlarang

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi
Example 728x250

Cinta terlarang hadir. Hati diuji; ada doa yang tersisa, ada rasa yang harus direlakan.


ELTV SATU ||| CERPEN (CERITA PENDEK) – Sore itu, matahari condong ke barat, menyinari sela pepohonan jati dengan warna keemasan. Udara hangat bercampur aroma tanah basah setelah hujan pagi. Daun-daun bergoyang pelan, seolah membisikkan sesuatu yang tak bisa ditangkap akal.

Di tepi jalan, Cahya berhenti; ban motornya bocor. Maya, seorang gadis belia anaknya Cahya, berdiri di sisinya, menatap Surya dengan senyum lembut. Surya menunduk, menatap Maya, dan dalam hati ia bergumam: Siapakah dia? Anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA.

Pasang Iklan Disini Scroll ke Bawah
idth="300"
Scroll ke Bawah

“Bannya bocor, ya, Mbak?” Suaranya ringan, bergetar tipis, berusaha menutupi gugupnya.

Cahya menoleh. Senyumnya sederhana, polos, namun entah mengapa menusuk hati Surya.

“Iya… jauh dari bengkel, jadi bingung harus bagaimana,” jawabnya.

Cahya menambahkan, “Untung kamu datang. Kalau tidak, kami pasti kebingungan.”

Surya menelan ludah. Hatinya berteriak agar menahan diri, tapi pikirannya terperangkap pada setiap gerakan Maya, pada tawa kecilnya. Di dalam benaknya, ia bergumam: ‘iya siapa… tapi mengapa hatiku menolak berhenti menolehnya?’

Seiring waktu, setelah sering bertemu, cerita kehidupan menjadi berbeda, yang akhirnya cinta perlahan menumbuh di antara Surya, 27 tahun, dan Cahya, 39 tahun. Mereka menikah pada 17 Agustus 2010, menjalani hari-hari yang manis, penuh tawa dan kehangatan. Lima belas tahun telah berlalu, dan hari ini, 17 Agustus 2025, mereka merayakan pernikahan yang tampak tak lekang oleh waktu.

Namun di balik senyum bahagia itu, Surya menyimpan rahasia yang menekan jiwanya. Lima tahun terakhir, hatinya digelayuti perasaan yang tak biasa. Bukan tentang Cahya, istrinya, melainkan tentang Maya, anak tiri yang telah ia besarkan, kini dewasa, menikah, dan bahkan memiliki seorang putri kecil.

Bayangan tentang Maya tak pernah benar-benar pergi. Ia hadir dalam setiap langkah Surya, dalam setiap sudut pikirannya, terlalu kuat menempel. Bukan sebagai seorang ayah memandang anak, tetapi sebagai lelaki yang memikirkan seorang perempuan. Surya tahu perasaan itu salah, namun ia tak bisa menyingkirkannya. Seperti bayangan yang menempel meski disinari cahaya terang, rasa itu tetap ada, diam, membakar, dan menghantui.

Bayangan Maya tak pernah pergi. Setiap kali Surya melihat perempuan muda tersenyum, dalam pikirannya, sosok itu hadir kembali. Maya kini sudah menikah, memiliki seorang putri, dan tampak bahagia.

Di malam sunyi, ketika Cahya terlelap, Surya duduk di beranda. Angin malam menyapu rambutnya, membuat setiap helaian napas terasa berat.

“Kenapa aku tak bisa melupakannya? Aku tahu ini salah… tapi hatiku menolak berhenti merasakan sesuatu…” gumamnya.

Rasa itu seperti benang halus yang menjerat hati dan pikiran. Menyadari Maya adalah anak tirinya, rasa bersalah membakar lebih dalam. Namun hati manusia menuntut kejujuran emosinya sendiri, dan Surya tak bisa menipu dirinya.

Ia menutup mata, membayangkan wajahnya yang dewasa kini. Kenangan menabrak logikanya: antara larangan moral dan kenyataan bahwa hatinya ingin merasakan lebih.

“Aku mencintainya… tapi tidak pantas. Aku menghargai Cahya, tapi bayangan Maya… selalu ada.”

Hujan menepuk atap rumah, iramanya bergelora seperti hatinya sendiri: gelisah, tak terkontrol, namun penuh ironi.

Malam itu, Surya duduk di beranda, menatap langit bertabur bintang. Angin dingin membawa aroma hujan, meresap ke dalam jiwanya. Setiap daun yang jatuh, setiap ranting yang patah, membangkitkan kenangan yang tak diundang.

Dengan suara lirih, ia berbisik:

“Maya… semoga engkau bahagia. Jika hidupmu bukan bersamaku, biarlah aku mencintaimu dalam diam, dalam doa. Ada cinta yang harus dirawat, ada rasa yang harus dimatikan. Untukmu, biarlah ini tetap hidup di hatiku saja, bukan di dunia nyata.”

Matanya berkaca-kaca. Dada sesak. Untuk pertama kali, ia merasa lega. Luka itu masih ada, tapi perlahan ia mulai memahami: perasaan itu bukan untuk dipelihara, melainkan disembuhkan.

Hatinya menjerit:

“Aku harus setia. Aku harus merelakan… meski setiap relakan menusuk jantungku sendiri.”

Hujan deras mulai turun. Setiap tetes di pipinya seolah menandai air mata yang tak pernah keluar. Surya menutup mata, membiarkan hujan membasuh hatinya, meski bekasnya tetap terasa.

Maya duduk di ruang tamu, menatap Surya dari jauh. Senyumnya manis, tapi matanya menyimpan rencana tersembunyi. Sejak kecil, ia merasa kurang perhatian dari ibunya, Cahya, setelah Surya hadir dalam keluarga. Kini, ia berniat menanamkan keraguan, memanfaatkan sisa perhatian yang tersisa di hati Surya.

Setiap kali bertemu, Maya bercanda dengan cara yang membuat dada Surya berdebar. Ia tahu lelaki itu masih menyimpan perasaan lama, dan obsesi yang terpendam perlahan muncul kembali.

Suatu saat, Maya mendekati Cahya dengan suara lirih:

“Bu… Surya sering menatapku aneh. Aku merasa tidak nyaman. Aku takut dia menyimpan sesuatu padaku.”

Cahya terkejut, hatinya bergejolak. Surya merasa terjebak, antara godaan Maya dan tuduhan yang mulai mengoyak rumah tangganya. Tubuhnya kaku, tangan menggenggam tepi kursi, setiap kata Maya menusuknya.

Maya tersenyum tipis. Dalam diam, ia menikmati kekacauan kecil yang berhasil ia ciptakan. Namun bagi Surya, ini adalah ujian moral. Ia menarik napas panjang, menutup mata, dan berbisik:

“Aku harus menahan diri… Aku harus melindungi yang pantas. Cinta sejati bukan milik Maya, tapi Cahya dan keluarga yang telah diridai Allah.”

Hujan senja menepuk atap rumah, menenangkan hati yang gelisah. Surya memilih untuk merelakan obsesi dan menjaga kesetiaan.

Surya berjalan menyusuri jalan setapak menuju masjid kecil di pinggir desa. Suasana senja hening, hanya terdengar azan lembut yang menambah ketenangan kontras dengan badai batin Surya.

Di depan Ustad Boris, ia menunduk. Suaranya bergetar:

“Ustad… saya tersiksa. Saya… saya menyukai Maya, anak tiriku sendiri. Saya tahu ini salah di mata Tuhan, tapi hati saya menolak berhenti merasakannya.”

Ustad Boris menatapnya lembut.

“Surya, cinta yang melanggar batas moral dan agama bukan cinta sejati. Itu hanyalah obsesi yang bisa merusak dirimu, keluargamu, dan mereka. Allah mengajarkan kita menahan hawa nafsu dan mencintai dalam batas halal.”

Surya menunduk lebih dalam, air mata menetes.

Example 728x250
Baca Juga :  Kemerdekaan Tanpa Keadilan: Sebuah Paradoks yang Harus Dihapus
banner 200x800
banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250