ELTV SATU ||| JAKARTA – Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diterbitkan sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Tujuan utama diterbitkannya keputusan ini adalah memberikan pedoman operasional bagi pembentukan serta pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK di seluruh Indonesia agar penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dapat dilakukan secara sederhana, cepat, dan murah.
Pada saat peraturan ini diterbitkan, peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) belum berkembang luas. Oleh karena itu, beberapa ketentuan, termasuk Pasal 15, masih membatasi perwakilan konsumen hanya dalam kondisi tertentu. Pembatasan ini dimaksudkan sebagai bentuk kehati-hatian administratif untuk menjaga agar BPSK tetap menjadi forum nonlitigasi yang mudah diakses tanpa formalitas hukum yang rumit.
Namun, seiring perkembangan praktik perlindungan konsumen dan penguatan peran LPKSM, sebagian ketentuan dalam Kepmen ini kini dianggap tidak lagi relevan dan perlu disesuaikan dengan semangat serta substansi UUPK.
Dasar Hukum Surat Kuasa
Pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian di mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dalam konteks perlindungan konsumen, surat kuasa digunakan agar seseorang atau lembaga dapat bertindak atas nama konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya, baik melalui mediasi, negosiasi, maupun persidangan di BPSK.
Dengan demikian, surat kuasa merupakan instrumen hukum yang sah untuk memberikan kewenangan kepada pihak lain guna mewakili kepentingan hukum pemberi kuasa. Namun, pelaksanaannya tetap harus berlandaskan pada ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Analisis Pasal 15 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001
Pasal 15 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur tata cara permohonan penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada BPSK, baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
- Permohonan penyelesaian sengketa dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya.
- Permohonan oleh ahli waris atau kuasanya dilakukan apabila konsumen:
a. meninggal dunia;
b. sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri;
c. belum dewasa; atau
d. merupakan warga negara asing.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa diperbolehkan, sebagaimana diatur dalam ayat (2), namun dengan pembatasan tertentu sebagaimana disebutkan dalam ayat (3). Artinya, perwakilan formal oleh kuasa hanya sah apabila konsumen tidak dapat bertindak sendiri karena alasan yang sah secara hukum.
Dengan demikian, Pasal 15 tidak menolak prinsip pemberian kuasa, melainkan membatasi penggunaannya hanya dalam kondisi tertentu. Pembatasan ini muncul dari semangat kehati-hatian agar BPSK tidak berubah menjadi forum yang terlalu formal seperti pengadilan.
Perbedaan Perwakilan Formal dan Pendampingan Hukum
Dalam praktik, perlu dibedakan antara perwakilan formal dan pendampingan hukum:
- Perwakilan formal berarti seseorang atau lembaga bertindak sepenuhnya menggantikan konsumen dalam persidangan, termasuk berbicara, menandatangani, dan mengambil keputusan atas nama konsumen. Bentuk ini hanya diperbolehkan jika memenuhi syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 15 ayat (3) Kepmenperindag 350/2001.
- Pendampingan hukum, sebaliknya, berarti LPKSM mendampingi konsumen yang hadir di persidangan untuk memberikan bantuan, penjelasan, serta perlindungan hukum tanpa menggantikan peran konsumen itu sendiri.
Pendampingan ini justru dijamin secara tegas oleh Pasal 44 ayat (3) UUPK, yang berbunyi:
“Konsumen dapat diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dalam memperjuangkan haknya.”
Dengan demikian, hak pendampingan oleh LPKSM memiliki dasar hukum yang kuat dalam Undang-Undang, dan tidak dapat dibatasi oleh peraturan yang lebih rendah seperti Keputusan Menteri.
Analisis Hierarki dan Relevansi Hukum
Secara hierarki, Undang-Undang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Keputusan Menteri. Oleh karena itu, jika terdapat pertentangan di antara keduanya, maka ketentuan dalam Undang-Undang harus diutamakan.
Dengan demikian, pembatasan dalam Pasal 15 Kepmenperindag No. 350/2001 tidak boleh mengesampingkan hak pendampingan hukum yang telah dijamin oleh UUPK.
Perlu juga diingat bahwa Kepmen ini disusun lebih dari dua dekade lalu, ketika peran LPKSM belum sekuat sekarang. Kini, konsumen sering berhadapan dengan pelaku usaha besar seperti lembaga pembiayaan, bank, dan marketplace. Karena itu, keberadaan pendamping hukum dari LPKSM menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan posisi dan akses terhadap keadilan.
Dengan demikian, secara yuridis maupun praktis, sebagian ketentuan dalam Kepmen 350 sudah tidak relevan dan perlu diperbarui agar selaras dengan semangat perlindungan konsumen modern.