ELTV SATU ||| CERPEN – Di sudut sebuah kota asing yang tak pernah benar-benar tidur, Maya duduk di bangku halte tua yang catnya mulai mengelupas. Malam merayap perlahan, meninggalkan hawa dingin yang menggigit kulitnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskan asap rokok yang menari pelan sebelum hilang ditelan langit yang tak mengenal siapa dirinya.
Kota ini ramai, tetapi kehadirannya tak pernah terasa berarti. Orang-orang melintas tanpa menoleh, kendaraan saling bersahut, namun hati Maya tetap saja sunyi. Di kepalanya, masa lalu bergerak lambat seperti bayangan yang enggan pergi. Ada cinta yang dulu ia jaga, ada rumah yang dulu ia panggil pulang semuanya kini menjauh, meninggalkan jejak yang tak lagi bisa ia sentuh.
Ketika pikirannya mulai tenggelam terlalu dalam, ponselnya bergetar. Nama Cahya, ibunya, muncul di layar. Hanya suara itu yang mampu menembus lapisan kesedihan Maya.
“Assalamu’alaikum, Maya… kamu sudah makan, Nak?” suara Cahya terdengar hangat, lembut, seperti selimut tipis yang merangkul dari kejauhan.
“Wa’alaikumussalam… Maya sudah makan, Bu,” jawabnya pelan, meski yang ia telan sejak pagi hanya dua teguk air dan sebatang rokok.
Cahya tidak membantah atau memaksa. Ia tahu anaknya pandai menyembunyikan lelah.
“Nak… Ibu tahu kamu sedang berjuang. Tapi ingat, setiap hari kamu bangun, itu tanda kamu masih kuat. Tuhan tidak meninggalkanmu.”
Maya menunduk. Asap rokok terakhir menghilang di antara lampu-lampu jalan.
“Maya capek, Bu… capek sekali. Rasanya semua yang Maya jaga… hilang begitu saja.”
Hening sesaat terdengar dari seberang. Cahya menahan suaranya agar tidak pecah.
“Maya… cinta memang bisa retak tanpa suara. Tapi hidupmu jangan ikut hancur. Kamu lebih berharga daripada luka yang kamu tanggung.”
Air mata Maya mengalir tanpa ia sadari.
“Andai jarak kita tidak sejauh ini… Maya ingin pulang.”












