“Pulanglah kapan saja kamu siap, Nak. Tapi ingat, kamu juga boleh menciptakan jalanmu sendiri di sana. Ibu selalu mendoakanmu. Jarak hanya memisahkan raga, bukan doa.”
Maya mengusap pipinya. Suara ibunya selalu menjadi rumah, bahkan ketika rumah itu berada ribuan kilometer darinya.
“Bu…” suaranya gemetar, “kalau jalan pulang tak ada… apa Maya harus membuat jalan baru?”
“Ya, Nak. Buatlah. Satu langkah kecil pun sudah cukup. Ibu percaya kamu bisa.”
Percakapan itu berakhir, namun kata-kata Cahya tinggal di hati Maya seperti api kecil yang menolak padam.
Ia membuang puntung rokok ke tempat sampah. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sepenuhnya sendirian. Di balik asap rokok yang menandai kegetirannya, ada doa seorang ibu yang tak putus menguatkannya.
Maya berdiri. Angin malam masih dingin, kota masih asing, dan hidupnya masih penuh luka. Namun kali ini, langkahnya sedikit lebih mantap.
Sebab ia tahu, selama doa ibunya menyelimuti setiap langkahnya, ia tidak akan benar-benar tersesat.
Dan di malam itu, Maya mulai berjalan menuju hidup yang baru pelan,ntapi pasti.
Bersambung












