ELTV SATU ||| CERPEN – Ada rindu yang tidak pernah lahir dari kata-kata, hanya hidup di antara jeda napas dan denyut waktu. Surya tahu itu sebab setiap kali senja datang dan matahari perlahan tenggelam, ada nama yang selalu muncul di hatinya: Maya. Ia tidak tahu sejak kapan rindu itu tumbuh. Mungkin sejak pertemuan terakhir di bawah langit jingga, saat Maya tersenyum tanpa janji, lalu pergi tanpa pamit. Sejak itu, dunia terasa lebih sunyi.
Setiap pagi, Surya menatap layar ponselnya yang dingin menunggu pesan yang tak pernah datang. Ia ingin menulis, “Apa kabar, Maya?” tapi selalu terhenti di huruf pertama. Ia tahu, Maya mungkin tidak pernah merindu. Maya selalu membisu, seperti langit malam yang hanya menatap tanpa menjawab.
Namun rindu tidak butuh alasan untuk datang. Ia sering tiba-tiba hadir di tengah kerja, di sela hujan, atau saat aroma kopi mengepul di sore hari. Rindu itu sederhana tapi menggetarkan, seperti desir angin yang mengingatkan pada tawa Maya yang dulu. Kadang Surya ingin membunuh rindunya, tapi setiap kali ia mencoba, rindu itu justru tumbuh lebih kuat. Ia hanya bisa tersenyum pahit, memandang langit dan berkata dalam hati:
“Biarlah Tuhan yang tahu kerinduan ini. Biarlah Dia yang mengerti apa yang tak bisa kukatakan pada Maya.”
Dan malam pun datang lagi, membawa sunyi yang akrab. Surya menatap bintang, berharap ada satu di antaranya yang menyampaikan pesan rindu ke hati Maya meski mungkin, Maya tidak pernah menunggu. Namun bagi Surya, itu tidak apa-apa. Sebab bagi orang yang benar-benar merindu, dicintai bukanlah tujuan cukup melihat seseorang bahagia dari jauh pun sudah menjadi doa yang utuh.
Hingga suatu malam, Surya menatap pantulan dirinya di jendela dan barulah ia sadar. Bayangan yang selama ini ia rindukan, tawa yang ia dengar dalam diam, dan nama yang terus ia panggil… hanyalah bagian dari dirinya sendiri. Maya tak pernah ada. Ia hanyalah bayangan semu, tercipta dari kesepian yang terlalu lama ia peluk.
Surya terdiam lama, menutup matanya dengan tenang. Rindu itu tetap ada api kini ia tahu, yang dirindukannya bukan seseorang di luar dirinya, melainkan bagian hati yang pernah hilang. Dan seperti biasa, ia berbisik pelan ke langit:
“Biarlah Tuhan yang tahu kerinduan itu…”












