ELTV SATU ||| JAKARTA – Di tengah kesibukan hidup yang serba cepat, ada saat-saat ketika jiwa terasa seperti berkelana tanpa tujuan. Pikiran berdiskusi sendiri, bercerita panjang lebar, bahkan berdebat tanpa henti. Rasanya seolah lupa siapa pemilik sebenarnya, hingga ingatan kecil pun mudah pudar dan momen kini terlewat begitu saja. Fenomena ini sering membuat tubuh lelah, hati cemas, dan fokus buyar.
Fenomena “pikiran yang mengembara” sebenarnya wajar. Otak manusia memang diciptakan untuk terus berpikir, menghubungkan pengalaman masa lalu, rencana masa depan, dan imajinasi. Namun ketika arusnya terlalu deras, kita bisa hanyut dan kehilangan kesadaran pada saat sekarang.
Ada langkah sederhana yang bisa membantu: berhenti sejenak dan tarik napas dalam. Rasakan udara yang masuk dan keluar, lalu bisikkan pelan dalam hati, “Ini hanya pikiran. Tetap di sini.” Kalimat singkat ini bekerja seperti jangkar, mengingatkan bahwa pikiran hanyalah arus yang lewat. Jiwa adalah langit luas tempat arus itu bergerak—tetap tenang, tak tergoyah.
Latihan kesadaran kecil ini bisa dilakukan di mana saja: di ruang kerja yang bising, di tengah perjalanan, atau sebelum tidur. Semakin sering dilakukan, semakin mudah kita mengenali kapan pikiran mulai berlari sendiri. Dari sana lahir ketenangan, kejernihan, dan ingatan yang lebih tajam.
Mengamati pikiran bukan berarti menolak berpikir, melainkan belajar menjadi saksi. Jiwa tetap utuh meski pikiran berkelana. Dengan menyadari perbedaan itu, kita dapat kembali ke momen sekarang, menikmati hidup dengan lebih ringan, dan menata kembali energi yang sempat tercecer.
Di dunia yang penuh distraksi, kehadiran penuh being present bukan kemewahan, melainkan kebutuhan. Saat kita mampu melihat pikiran hanya sebagai arus sementara, jiwa pun menemukan rumahnya: diam, damai, dan selalu ada di sini.