ELTV SATU ||| JAKARTA – Dalam dunia hukum, istilah konvensi dan rekonvensi sering muncul, terutama dalam perkara perdata maupun di Pengadilan Agama. Kedua istilah ini terkait dengan proses gugatan, tetapi memiliki perbedaan fungsi dan mekanisme yang penting untuk dipahami.
Konvensi
Konvensi adalah gugatan atau tuntutan utama yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat. Dalam perkara perdata, konvensi merupakan tuntutan awal untuk menuntut hak atau ganti rugi. Contohnya, seseorang menggugat pihak lain karena tidak membayar hutang; gugatan itulah yang disebut konvensi.
Dasar hukum konvensi dalam perdata dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering/Rv), Pasal 118 dan seterusnya.
Di Pengadilan Agama, konvensi tetap berfungsi sebagai gugatan utama, misalnya gugatan cerai, hak asuh anak, nafkah, atau sengketa harta bersama. Dasar hukumnya antara lain:
- UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- PERMA No. 7 Tahun 2016 tentang Prosedur Gugatan Cerai
- PERMA No. 2 Tahun 2015 mengenai prosedur gugatan harta bersama, nafkah, dan hak asuh anak
Rekonvensi
Rekonvensi adalah tuntutan balik dari tergugat terhadap penggugat dalam perkara yang sama. Dalam perdata, jika pihak tergugat merasa dirugikan, ia dapat mengajukan rekonvensi agar kedua tuntutan disidangkan secara efisien. Dasar hukum rekonvensi terdapat pada Pasal 124 Rv.
Di Pengadilan Agama, mekanisme rekonvensi berlaku serupa. Misalnya, suami mengajukan gugatan cerai (konvensi), dan istri menuntut nafkah atau hak asuh anak dalam jawaban sekaligus rekonvensi. Dasar hukumnya adalah:
- Pasal 123 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- PERMA terkait prosedur perkara yang bersangkutan












