ELTV SATU ||| OPINI – Insiden tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta menjadi tragedi hukum dan kemanusiaan yang mengguncang publik. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan lalu lintas, tetapi juga cermin dari diduga lemahnya akuntabilitas aparat penegak hukum dalam menjaga keselamatan warga sipil. Sebagai lembaga bantuan hukum, LBH Cakra Adipati Nusantara memandang kasus ini harus ditangani secara serius, transparan, dan melibatkan mekanisme hukum yang adil, bukan sekadar permintaan maaf institusi.
Hak Hidup yang Dilanggar
Konstitusi Indonesia melalui Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Hak ini diperkuat dengan jaminan perlindungan dari kekerasan oleh aparat negara dalam Pasal 28G UUD 1945. Ketika seorang warga sipil tewas akibat tindakan aparat, maka negara jelas diduga telah gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Dimensi Pidana
Tewasnya korban dapat dikualifikasikan ke dalam tindak pidana. Pasal 359 KUHP mengatur bahwa siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dapat dipidana. Jika ditemukan unsur kesengajaan atau penyalahgunaan wewenang, maka jerat pidana dapat diperluas pada Pasal 351 ayat (3) KUHP (penganiayaan yang mengakibatkan kematian) maupun Pasal 338 KUHP (pembunuhan).
Karena pelaku adalah Oknum anggota kepolisian, maka proses hukum tidak boleh berhenti pada sanksi etik internal. Aparat negara harus tunduk pada hukum pidana umum agar keadilan substantif dapat tercapai.
Tanggung Jawab Institusional
Polri tidak bisa sekadar menyampaikan permintaan maaf. Secara hukum, ada prinsip vicarious liability yang menempatkan institusi bertanggung jawab atas perbuatan anggotanya. Negara wajib: