ELTV SATU ||| JAKARTA – Pada akhir tahun 1978, dunia dikejutkan oleh sebuah tragedi kemanusiaan yang mengguncang Amerika Serikat. Di tengah hutan Guyana, lebih dari 900 orang ditemukan tewas dalam peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Jonestown. Di balik peristiwa memilukan itu, berdirilah sosok Jim Jones, seorang pendeta karismatik yang awalnya menjanjikan surga kesetaraan, namun berakhir dengan neraka kematian massal.
Awal Mula Gerakan Jim Jones
Jim Jones lahir di Indiana, Amerika Serikat, pada tahun 1931. Sejak muda, ia dikenal sebagai pribadi yang keras kepala namun penuh empati terhadap kaum tertindas. Tahun 1955, Jones mendirikan organisasi keagamaan bernama Peoples Temple Full Gospel Church di Indianapolis. Ia memadukan ajaran Kristen dengan gagasan sosialisme dan kesetaraan ras, menarik banyak pengikut dari masyarakat miskin dan minoritas Afrika-Amerika. Namun seiring waktu, Jones mulai menunjukkan sisi gelapnya. Ia mulai meyakini dirinya sebagai perwujudan Tuhan, dan menggunakan pengaruh spiritualnya untuk mengendalikan kehidupan para anggota — mulai dari keuangan, hubungan keluarga, hingga keputusan pribadi.
Perpindahan dan Pengaruh Politik
Pada awal 1970-an, Jones memindahkan gerejanya ke California, dan di sana Peoples Temple berkembang pesat. Jones bahkan terlibat dalam kampanye politik, mendapat dukungan dari pejabat dan tokoh-tokoh lokal San Francisco yang menganggapnya sebagai pejuang sosial. Namun, laporan tentang kekerasan, manipulasi, dan pelecehan mulai mencuat. Beberapa mantan anggota menyebut bahwa Jones menggunakan ketakutan dan ancaman untuk menahan mereka agar tetap loyal. Tekanan media dan pihak berwenang membuat Jones semakin paranoid.
Kota Utopia di Tengah Hutan Guyana
Tahun 1977, Jones membawa lebih dari seribu pengikutnya ke sebuah kawasan terpencil di Guyana, Amerika Selatan, dan menamai tempat itu Jonestown. Ia menggambarkan Jonestown sebagai “tanah perjanjian”, tempat di mana orang-orang hidup dalam kesetaraan dan damai tanpa pengaruh Amerika. Namun kenyataannya jauh berbeda. Jonestown menjadi kamp kerja tertutup, dengan kehidupan keras dan kontrol ketat. Komunikasi ke dunia luar dilarang, dan para anggota dipaksa untuk mengikuti setiap perintah Jones tanpa pertanyaan. Ia juga rutin mengadakan “latihan bunuh diri massal” yang disebut White Nights, sebagai bentuk kesetiaan mutlak.












