Puncak acara ditandai dengan pembagian apem yang menjadi simbol pengharapan agar hidup masyarakat senantiasa diberkahi. Warga yang hadir dari berbagai daerah di Cirebon dan sekitarnya berbondong-bondong membawa pulang apem sebagai tanda keberkahan.
Salah seorang warga, Siti Aminah (45), mengaku sudah rutin menghadiri tradisi ini setiap tahun. “Saya percaya ikut Rebo Wekasan bisa membawa keselamatan untuk keluarga. Selain itu, bisa kumpul bersama warga lainnya juga menambah silaturahmi,” ujarnya.
Tradisi Rebo Wekasan sendiri telah berlangsung turun-temurun sejak masa Wali Sanga. Dalam ajaran Islam Jawa, Rabu terakhir bulan Safar dianggap sebagai hari yang memiliki energi negatif sehingga masyarakat dianjurkan memperbanyak doa dan sedekah untuk menolak musibah. Keraton Cirebon melestarikan tradisi ini sebagai warisan budaya dan kearifan lokal yang tetap relevan hingga kini.
Menurut Pangeran Raja Goemelar, tradisi ini memiliki dua keutamaan, yakni berbagi sedekah sekaligus mempererat silaturahmi antara keluarga keraton dan masyarakat. Sebelum curak dimulai, terlebih dahulu digelar doa bersama di Langgar Alit Keraton Kasepuhan.
“Tradisi ini sudah ada sejak zaman Wali Sanga. Melalui konsep tawur atau curak, mereka mengajarkan nilai-nilai keislaman melalui budaya,” jelasnya.
Acara kemudian ditutup dengan santap bersama hidangan tradisional khas Cirebon yang disediakan pihak keraton, menandai berakhirnya perayaan Rebo Wekasan tahun ini. (REDAKSI)