ELTV SATU ||| JAKARTA – Insiden pengeroyokan yang menimpa Jurnalis Ambarita di Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Bekasi, pada 26 September 2025 adalah tamparan keras bagi kebebasan pers di Indonesia. Saat tengah melakukan peliputan dugaan peredaran makanan kedaluwarsa, Ambarita diserang oleh enam hingga sepuluh orang tak dikenal yang diduga memiliki keterkaitan dengan pemilik usaha. Telepon genggamnya dirampas, dan seluruh data liputannya hilang. Ia juga mengalami luka pada mata kiri, diduda dengan diagnosis medis menunjukkan kerusakan retina.
Kasus ini bukan sekadar tindak kriminal terhadap individu. Serangan terhadap jurnalis ketika menjalankan tugas publik adalah ancaman nyata terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menegaskan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Namun, kejadian ini menunjukkan betapa lemahnya implementasi perlindungan tersebut.
Kekerasan terhadap jurnalis dari intimidasi hingga pengeroyokan adalah serangan langsung terhadap demokrasi. Ketika jurnalis dibungkam melalui kekerasan, publik kehilangan mata dan telinga yang seharusnya mengawasi praktik-praktik yang merugikan kepentingan masyarakat, seperti dugaan peredaran makanan berbahaya yang hendak diungkap Ambarita.
Aparat penegak hukum wajib menindak tegas para pelaku, tidak hanya dengan pasal-pasal KUHP tentang penganiayaan, pengeroyokan, dan perampasan, tetapi juga dengan ketentuan khusus dalam UU Pers yang secara tegas melarang upaya menghalangi kerja jurnalistik. Penegakan hukum yang cepat dan transparan adalah bentuk kehadiran negara yang melindungi jurnalis dan sekaligus menjaga hak publik atas informasi.
Editorial ini menegaskan: kekerasan terhadap jurnalis tidak boleh dibiarkan. Aparat harus bertindak tegas, dan masyarakat sipil perlu bersatu menolak segala bentuk intimidasi terhadap pekerja media. Tanpa jurnalis yang aman dalam menjalankan tugasnya, demokrasi hanya tinggal slogan.




 
									








