Meski sering berselisih, keduanya memiliki kesamaan mendasar: mereka sama-sama mencintai Indonesia dan ingin membentuk masyarakat yang lebih baik. Rizieq melalui pendekatan syariat dan moralitas Islam, Dedi melalui pelestarian budaya dan nilai-nilai lokal.
Keduanya juga menunjukkan keberanian dalam menghadapi kritik dan tetap konsisten dengan visi masing-masing. Dalam konteks demokrasi, perbedaan seperti ini bukanlah ancaman, melainkan kekayaan gagasan yang bisa memperkuat fondasi kebangsaan.
“Mengagumi dua tokoh yang sering berseberangan bukanlah hal yang kontradiktif. Justru, itu menunjukkan kedewasaan dalam melihat kompleksitas sosial. Habib Rizieq mengajarkan pentingnya menjaga akidah dan moralitas, sementara Dedi Mulyadi mengingatkan kita akan pentingnya merawat akar budaya dan identitas lokal”, jelas Aceng.
“Keduanya adalah cermin dari dinamika Indonesia yang plural: antara Arab dan Nusantara, antara syariat dan adat, antara idealisme dan pragmatisme. Dalam perbedaan mereka, kita bisa belajar tentang toleransi, dialog, dan pentingnya memahami konteks sebelum menghakimi”, pungkasnya.
Sumber: Aceng Syamsul Hadie, S, Sos., MM.
Editor : Tim Redaksi