Scroll untuk baca artikel
banner 325x300
banner 160x600
banner 160x600
Example 728x250
ArtikelNews

Bayang-Bayang Perang Dunia III: Ketika Konflik Iran-Israel Merobek Stabilitas Global Berujung Gencatan Senjata yang Rapuh.

8
×

Bayang-Bayang Perang Dunia III: Ketika Konflik Iran-Israel Merobek Stabilitas Global Berujung Gencatan Senjata yang Rapuh.

Sebarkan artikel ini
Example 728x250

ELTV SATU ||| Konflik yang telah lama membara antara Iran dan Israel, yang selama ini seringkali dimainkan melalui proksi dan serangan terselubung, kini telah mencapai titik didih yang mengkhawatirkan. Serangan langsung Iran ke Israel pada April 2024, yang kemudian dibalas oleh Tel Aviv, bukan hanya sekadar insiden militer; ini adalah sinyal bahaya yang mengancam stabilitas geopolitik global. Dunia menahan napas, bertanya-tanya apakah eskalasi ini akan menyeret kita semua ke dalam pusaran yang lebih besar, bahkan mungkin Perang Dunia Ketiga.

Dari Perang Proksi Menuju Konfrontasi Langsung

Example 300x600

Selama beberapa dekade, hubungan Iran dan Israel dicirikan oleh “perang bayangan.” Iran, dengan strategi “poros perlawanan”-nya, mendukung kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan berbagai milisi di Suriah serta Irak. Ini adalah cara Iran untuk menekan Israel dan memperluas pengaruhnya tanpa harus terlibat dalam konfrontasi militer langsung yang berskala penuh. Israel, di sisi lain, secara teratur melakukan operasi militer rahasia, termasuk serangan udara di Suriah yang menargetkan pengiriman senjata Iran kepada Hizbullah, dan bahkan serangan siber atau pembunuhan ilmuwan nuklir Iran.

Namun, dinamika ini berubah drastis setelah serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus pada April 2024, yang menewaskan beberapa komandan senior Garda Revolusi Iran. Iran menganggap ini sebagai serangan langsung terhadap kedaulatan wilayahnya, dan untuk pertama kalinya, merespons dengan serangan rudal dan drone skala besar langsung ke wilayah Israel. Meskipun sebagian besar proyektil tersebut berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara Israel dengan bantuan Amerika Serikat dan sekutunya, tindakan ini menandai sebuah titik balik fundamental.

Respons Israel, yang juga menargetkan wilayah Iran, meskipun skalanya lebih terbatas, menegaskan siklus balas dendam yang berbahaya. Telah dilaporkan bahwa serangan Israel menargetkan fasilitas militer dan mungkin juga fasilitas nuklir, meskipun rinciannya masih samar. Situasi ini menciptakan preseden baru: konfrontasi langsung, bukan lagi sekadar melalui proksi.

Pemain Utama dan Dinamika Regional

Dalam konflik yang memanas ini, setiap pemain memiliki perhitungan strategisnya sendiri. Iran memandang Israel sebagai ancaman eksistensial dan “musuh utama” di kawasan. Program nuklir Iran, yang menurut Teheran bertujuan damai tetapi dicurigai oleh banyak negara sebagai upaya pengembangan senjata nuklir, menjadi inti ketegangan. Iran juga berupaya mengamankan jalur pasokan dan pengaruhnya di seluruh “Bulan Sabit Syiah” yang membentang dari Lebanon hingga Yaman, menghadapi perlawangan dari Israel dan negara-negara Arab Sunni.

Baca Juga :  Aceng Syamsul Hadie, S.Sos.,MM. Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN Menyatakan Genosida Gaza-Palestina Merupakan Proyek Bisnis Besar Korporasi Dunia Yang Biadab.

Israel, di sisi lain, melihat program nuklir Iran dan jaringan proksinya sebagai ancaman langsung terhadap keberadaan negaranya. Keamanan nasional adalah prioritas utama, dan Israel bersedia mengambil tindakan preemptif untuk menetralisir apa yang dianggapnya sebagai ancaman yang akan datang. Dukungan kuat dari Amerika Serikat menjadi pilar penting bagi strategi keamanan Israel. Washington telah menegaskan komitmennya terhadap keamanan Israel dan siap memberikan dukungan militer serta diplomatik.

Namun, keterlibatan AS juga membawa risiko tersendiri. Jika Iran menargetkan pasukan atau kepentingan AS di kawasan, respons yang lebih besar dari Washington hampir pasti akan terjadi, menarik Amerika Serikat lebih dalam ke pusaran konflik. Ini bukan hanya tentang Israel dan Iran; ini juga tentang hegemoni regional dan peran kekuatan besar di Timur Tengah.

Di luar Iran dan Israel, negara-negara Arab di Teluk Persia seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berada dalam posisi yang canggung. Mereka juga melihat Iran sebagai ancaman, tetapi takut terjebak dalam perang skala besar yang dapat menghancurkan ekonomi dan stabilitas mereka sendiri. Mereka cenderung mendukung de-eskalasi, meskipun secara diam-diam mungkin mendukung tindakan yang melemahkan pengaruh Iran.

Jembatan Menuju Perang Global?

Kekhawatiran terbesar adalah bagaimana konflik ini bisa meluas dan memicu Perang Dunia Ketiga. Skenario ini, meskipun mengerikan, tidak sepenuhnya mustahil jika beberapa faktor kunci bersatu.

Pertama, keterlibatan langsung kekuatan besar adalah pemicu paling nyata. Jika AS secara signifikan meningkatkan keterlibatannya, misalnya dengan melancarkan serangan besar-besaran terhadap instalasi militer atau nuklir Iran, Teheran mungkin akan membalas dengan menargetkan aset AS di seluruh Timur Tengah. Ini bisa memicu reaksi berantai yang tak terkendali. Selain itu, Rusia dan Tiongkok, meskipun mungkin tidak terlibat langsung dalam pertempuran, memiliki kepentingan strategis dan ekonomi di Timur Tengah. Eskalasi konflik bisa memicu reaksi atau intervensi mereka untuk melindungi kepentingan tersebut, yang berpotensi menciptakan blok-blok konflik global yang saling berhadapan. Misalnya, Rusia, yang memiliki aliansi longgar dengan Iran di Suriah, mungkin memberikan dukungan diplomatik atau bahkan militer yang lebih besar kepada Teheran jika AS mengambil tindakan drastis. Tiongkok, sebagai importir energi terbesar dari wilayah tersebut, akan sangat terpukul oleh gangguan pasokan minyak dan mungkin merasa perlu untuk melindungi jalur perdagangan vitalnya.

Baca Juga :  Respon Cepat! Anggota Koramil 1717/Kadipaten Tinjau Lokasi Bencana Banjir di Kadipaten, Majalengka

Kedua, perang proksi yang lebih luas dapat menjadi katalisator. Jika Hizbullah di Lebanon melancarkan serangan besar-besaran ke Israel sebagai bagian dari respons Iran, atau jika kelompok-kelompok milisi yang didukung Iran di Irak dan Suriah secara bersamaan meningkatkan serangan terhadap pasukan AS atau sekutunya, konflik bisa menyebar ke seluruh wilayah. Konflik di Gaza, yang memicu krisis saat ini, tetap menjadi bara api yang setiap saat bisa menyulut ledakan yang lebih besar.

Ketiga, dampak ekonomi global dari konflik skala penuh akan sangat dahsyat. Timur Tengah adalah pusat pasokan energi dunia. Gangguan terhadap jalur pelayaran vital seperti Selat Hormuz, yang merupakan titik choke point utama untuk pengiriman minyak global, atau Terusan Suez, akan menyebabkan lonjakan harga minyak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini akan memicu inflasi global yang parah dan dapat menyeret ekonomi dunia ke dalam resesi mendalam, bahkan mungkin stagflasi—periode inflasi tinggi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Pasar keuangan global akan bergejolak, investasi akan anjlok, dan stabilitas ekonomi negara-negara berkembang akan sangat terancam. Bayangan krisis energi tahun 1970-an akan terlihat kecil dibandingkan dengan dampak potensial dari perang skala besar di Teluk.

Keempat, program nuklir Iran menjadi ancaman eksistensial. Jika Israel merasa terancam secara eksistensial oleh kemajuan program nuklir Iran, mereka mungkin akan melancarkan serangan preemptif yang lebih besar untuk melumpuhkan fasilitas nuklir Iran. Ini bisa memicu Teheran untuk keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan secara terbuka mengembangkan senjata nuklir, memicu perlombaan senjata nuklir di kawasan yang sudah tidak stabil. Skenario ini adalah mimpi buruk bagi komunitas internasional.

Baca Juga :  Peringatan Hardiknas Tingkat Kabupaten Kuningan, Pendidikan Adalah Jembatan Emas Antara Dunia

Terakhir, gelombang pengungsi dan ketidakstabilan regional akan menjadi konsekuensi tak terelakkan. Konflik yang meluas akan memicu krisis kemanusiaan yang masif, dengan jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Ini akan memberikan tekanan besar pada negara-negara tetangga dan juga Eropa, yang sudah bergulat dengan tantangan migrasi. Ketidakstabilan yang lebih luas juga dapat memicu pemberontakan internal atau konflik perbatasan di negara-negara yang sudah rapuh di kawasan tersebut.

Mencegah Skenario Terburuk

Meskipun prospek Perang Dunia Ketiga terdengar suram, upaya diplomatik dan pencegahan masih terus berlangsung, meskipun di tengah kesulitan yang luar biasa. Komunitas internasional, melalui PBB dan kekuatan-kekuatan regional, terus menyerukan de-eskalasi dan penahanan diri. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyuarakan keprihatinan mendalam dan mendesak semua pihak untuk kembali ke jalur dialog.

Namun, upaya diplomasi ini menghadapi tantangan besar. Iran mungkin merasa lebih percaya diri setelah menunjukkan kemampuannya untuk menyerang Israel secara langsung, sementara Israel tetap bertekad untuk melindungi keamanannya dengan segala cara. Keputusan Amerika Serikat untuk mendukung Israel secara militer juga mempersulit peran netral bagi negara-negara Barat dalam mediasi.

Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dan anggota G20, memiliki peran penting untuk dimainkan. Indonesia dapat menggunakan pengaruhnya di ASEAN dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk mendorong de-eskalasi dan mencari solusi damai. Konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina juga relevan, karena konflik Palestina-Israel seringkali menjadi akar ketegangan yang lebih luas di kawasan. Jakarta bisa menjadi jembatan dialog antara pihak-pihak yang bertikai, meskipun jalan ini terjal dan penuh rintangan.

Example 728x250
banner 200x800
banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250