Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kuningan, Toni Kusumanto, menjelaskan bahwa sebelumnya nama Eyang Kyai Hasan Maulani pernah dicantumkan pada ruas jalan kecil antara Desa Ancaran dan Karangtawang.
H. Yusron Kholid, mantan Kepala Kemenag Kuningan yang juga cicit Eyang Kyai Hasan Maulani, menyampaikan apresiasi kepada Bupati Kuningan atas penetapan nama tersebut. “Sejatinya Kiai Hasan Maolani bukan hanya milik dzuriyyah atau keturunannya, tetapi aset historis masyarakat Kuningan, Tatar Sunda, dan bangsa Indonesia,” katanya.
Yusron menyebut, Eyang Kiai Hasan Maulani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, pada Senin Legi, 22 Mei 1782 Masehi atau 8 Jumadil Akhir 1196 Hijriyah. Ia merupakan putra dari Kyai Tubagus Lukman bin Kyai Sathor dari Kelurahan Citangtu dan Ny. Murtasim binti Kyai Arifah asal Desa Garawangi. Keduanya menetap di Desa Lengkong dan mendirikan pesantren Roudlotuttholibin.
Dikisahkan dalam buku Mengenang Sang Kyai Sedjati Eyang Maulani karya Abu Abdullah Hadziq, Eyang Maulani atau Eyang Hasan Maulani, Eyang Manado adalah ulama besar asal Lengkong yang dibuang Belanda ke Manado (tepatnya kampung jawa Tondano Sulawesi Utara) pasca-Perang Diponegoro pada pertengahan abad ke-19.
Ia dikenal sebagai tokoh yang disegani dan memiliki pengaruh besar. Ia telah menunjukan konsistensinya sebagai anak bangsa yang anti penjajah dan pantang berkhianat kepada rakyatnya.
Selain sebagai ulama, Eyang Maulani memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Dikisahkan, beliau tidak pernah makan kenyang selama hidupnya dan sering bertafakur. Ia juga menjalani tirakat dengan mengurangi makan, minum, dan tidur demi mengamalkan pepatah Sunda, Lamun hayang boga perah kudu daek peurih.
Hadir Unsur Forkopimda, Kamenag, Pj Sekda, Pj Sekda, Kepala OPD, Camat, Kepala Desa, Ketua MUI, Paguyuban Keluarga Besar KH. Hasan Maolani Lengkong-Kuningan. (Heryanto)