ELTV SATU ||| JAKARTA – Hati-hati berkomentar di dunia maya, karena setiap kata yang diunggah dapat berdampak hukum. Di era digital, batas antara kebebasan berekspresi dan pencemaran nama baik semakin tipis. Sekali unggahan tersebar, reputasi seseorang bisa rusak dan pelakunya dapat terjerat pidana maupun gugatan perdata. Bijaklah dalam bermedia sosial, karena hukum tak hanya mengatur perbuatan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.
Pendahuluan
Pencemaran nama baik merupakan pelanggaran terhadap kehormatan dan reputasi seseorang. Dalam konteks hukum Indonesia, tindakan ini dapat menimbulkan akibat hukum baik secara pidana maupun perdata.
Perkembangan teknologi dan media sosial membuat kasus pencemaran nama baik semakin sering terjadi, baik dalam bentuk tulisan, unggahan, maupun komentar daring. Artikel ini membahas dasar hukum, perbedaan antara jalur pidana dan perdata, serta contoh penerapannya di Indonesia.
1. Pencemaran Nama Baik Sebagai Tindak Pidana
Dasar Hukum
Ketentuan mengenai pencemaran nama baik diatur dalam beberapa pasal penting, yaitu:
- Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana apabila dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan sesuatu hal, dengan maksud agar hal itu diketahui umum. - Pasal 311 KUHP
Mengatur tentang fitnah, yaitu tuduhan palsu yang diketahui tidak benar oleh pelaku. - Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, yang mengatur pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Sanksi Pidana
Pelanggaran atas ketentuan di atas dapat dikenai sanksi berupa pidana penjara maksimal empat tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Tujuan penegakan hukum pidana dalam kasus ini adalah untuk menegakkan keadilan, memberikan efek jera bagi pelaku, serta melindungi kehormatan korban.
2. Pencemaran Nama Baik Sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Dasar Hukum
Pencemaran nama baik juga dapat ditindak melalui jalur perdata, dengan dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”
Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Empat unsur yang harus dibuktikan dalam gugatan PMH adalah:
- Adanya perbuatan melanggar hukum.
- Adanya kesalahan atau kelalaian pelaku.
- Adanya kerugian yang dialami korban.
- Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian.
Tujuan Gugatan Perdata
Jalur perdata bertujuan memulihkan kerugian korban, bukan menghukum pelaku. Bentuk pemulihan dapat berupa ganti rugi materiil maupun immateriil, permintaan maaf terbuka, atau pencabutan pernyataan yang merugikan.
3. Perbedaan Jalur Pidana dan Perdata
Perbedaan mendasar antara kedua jalur ini terletak pada tujuan dan sifat penanganannya. Jalur pidana bersifat represif, karena negara bertindak menghukum pelaku atas pelanggaran terhadap kepentingan umum. Sementara itu, jalur perdata bersifat restoratif, karena bertujuan memulihkan kerugian pribadi yang dialami korban.
Kedua jalur ini dapat ditempuh secara bersamaan, karena tidak saling meniadakan. Dalam praktiknya, korban sering melapor secara pidana terlebih dahulu untuk menegakkan keadilan, kemudian mengajukan gugatan perdata guna memulihkan nama baik dan kerugiannya.