Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat.
“Proyek kilang modular ini dilaksanakan sepenuhnya di Indonesia, dengan dukungan teknologi dan jasa dari mitra Amerika. Ini adalah bentuk kolaborasi strategis untuk memperkuat energi nasional,” kata Airlangga.
Kesepakatan ini juga terkait dengan perjanjian dagang yang lebih besar, yakni pembelian produk energi AS senilai US$15 miliar serta penurunan tarif perdagangan dari 32% menjadi 19%.
Hingga kini, lokasi pembangunan 17 kilang modular masih dalam tahap kajian oleh Danantara dan Kementerian ESDM. Beberapa wilayah yang dipertimbangkan antara lain Natuna, Surabaya, Halmahera Utara, Fakfak, Sumatra, dan Kalimantan.
Pemilihan lokasi mempertimbangkan faktor efisiensi logistik, ketersediaan infrastruktur pelabuhan, dan kedekatan dengan sumber energi lokal.
Meski menjanjikan, pembangunan kilang modular tidak lepas dari kritik. Para pengamat energi menilai kilang modular hanya mampu memproses minyak dalam kapasitas terbatas, sehingga tidak bisa menyaingi kilang besar seperti Cilacap atau Balikpapan.
“Kilang modular memang bisa dibangun cepat, tapi kapasitasnya kecil. Dari sisi efisiensi jangka panjang, justru bisa lebih mahal,” kata seorang analis energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR).
Selain itu, ada kekhawatiran jika proyek ini terlalu bergantung pada pasokan minyak mentah dari Amerika Serikat. Jika pasokan terganggu, kilang bisa mengalami hambatan produksi.
Terlepas dari tantangan tersebut, pemerintah menaruh harapan besar pada proyek ini. Selain mengurangi impor BBM, proyek ini diprediksi akan menciptakan ribuan lapangan kerja baru serta menggerakkan ekonomi di daerah-daerah lokasi pembangunan kilang.
“Kilang modular akan mempercepat kemandirian energi Indonesia. Kami menargetkan beberapa unit pertama dapat beroperasi pada 2027,” ujar Airlangga.
Rencana pembangunan 17 kilang modular ini menandai babak baru dalam upaya Indonesia memperkuat ketahanan energi. Dengan investasi besar dan dukungan teknologi dari Amerika Serikat, Indonesia mencoba mencari jalan tengah antara kebutuhan mendesak dan pembangunan jangka panjang.
Meski menuai pro dan kontra, proyek ini tetap menjadi bagian penting dari strategi nasional menuju kemandirian energi, sekaligus simbol eratnya hubungan dagang Indonesia–AS di sektor energi. ***